Sabtu, 05 Juni 2010

Let Me Stand Alone (Biarkan Aku Berdiri Sendirian)

Beberapa waktu yang lalu, ketika ada pengumuman lomba menulis antologi tentang Palestina, sy sungguh malu sekali. Jungkir balik sy mencari ide untuk dijadikan cerpen namun inspirasi itu tak kunjung sy dapatkan. Sy membuka kembali majalah yang bercerita tentang Palestina, tapi tetap saja tak ada ide yang menempel di kepala. Sy buka kembali buku Merah di Jenin, yang sy dapat sy minder mendapati cerpen-cerpen di sana begitu bagusnya. Sementara sy tak kuasa merangkai kata untuk menunjukkan bahwa sy peduli pada Palestina.

Apakah itu pertanda sy tak cinta? Semoga Allah mengampuni sy. Dulu sy pernah mendapat nasehat dari seorang kawan ketika sy dengan mudahnya menuliskan kata-kata cinta. Dia bilang cinta itu hakikatnya bukan pada kata yang terlontar atau yang dituliskan. Cinta butuh pembuktian dalam perbuatan. Sebuah nasyid dari Snada terngiang kembali dalam ingatan sy.

Pada Allah mengaku cinta
Walau pada kenyataannya
Pada harta, pada dunia
Tunduk seraya menghamba


Hari ini, rasa malu sy mengkuadrat dengan cepatnya. Serasa ada yang mencubit-cubit hati sy ketika sy menonton TVOne dan mendapat profile seorang pejuang kemanusiaan bernama Rachel Corrie yang dia tewas di lindas buldozer Israel ketika pasang badan mempertahankan sebuah rumah dari sebuah keluarga Palestine yang sama sekali tak dikenalnya. Jika Rachel Corrie bisa seperti itu, apa yang telah sy lakukan? Sy tau persis jawabannya : sy belum melakukan apa2.

Nama Rachel Corrie kemudian menjadi nama salah satu kapal yang sekarang bergerak menuju Gaza membawa misi kemanusiaan mencoba menembus blokade Israel.


“Mereka adalah kita. Kita adalah mereka.”

Begitulah sebuah catatan penting yang didapat dari catatan harian Rachel Corrie yang mengekspresikan penulisnya sebagai pengusung plularisme universal, cinta damai dan menolak semua bentuk kekerasan di seluruh belahan dunia.

Rachel Corrie bukan seorang senator atau pesohor Hollywood seperti Paris Hilton—kendati usianya tak jauh beda—tetapi catatan harian, aktivitasnya, puisi serta sketsanya telah menerebos batas-batas negaranya yang rigid, rasis dan superior.

Rachel Corrie adalah martil kemanusian yang tewas mengenaskan pada usia 23 tahun setelah digilas buldoser Israel buatan Amerika Serikat. Rachel Corrie tewas saat berusaha menggagalkan penghancuran sebuah rumah milik warga Palestina, 16 Maret 2003.

Ruh dan semangat Rachel Corrie telah menembus belahan dunia khususnya Rusia dan Palestina. Saat menginjakan kakinya di Rusia pada 1995, sebagai relawan kemanusiaan International Solidarity Movement (ISM), Rachel mulai merasakan Amerika Serikat yang asing.

“Amerika tak mempesonaku lagi. Ia tak mampu memikatku lagi. Ia pudar dan terlipat di pinggiran pikiranku....”

Rachel Corrie lahir di Olympia, Washington, 10 April 1979. Sejak kelas lima sekolah dasar ia sudah meneliti tentang kemiskinan dan masuk ke dalam laporan UNICEF dalam World’s Children 1989.

Pada saat SMA, ketika remaja lainnya tengah tidur pulas atau menarik mantelnya karena kedinginan, Rachel malah mengetuk hati setiap pengunjung supermarket untuk mendonasikan sebagian uang atau makanananya untuk orang miskin.

“Sekaleng makanan dari Anda, segudang manfaat bagi mereka yang kelaparan,” kata Rachel kepada setiap pengunjung supermarket. (hal xxvii).

Mengenai sikap dan kepeduliannya terhadap kemanusiaan sangat terang benderang dan terlihat dalam catatan tanggal 15 Desember 1992 atau sekitar usia 13 tahun:

“Kuingin menjadi seorang artis atau penari. Kumau mengubah dunia. Ku tak ingin gunakan obat-obatan. Bisa saja kutenggak alkohol sebelum cukup usia, tapi aku tak pernah merencanakannya. Kupercaya, jati diri didapat melalui proses, bukan melaui narkoba.”

Atau dalam tulisan tertanggal 9 Maret 1993, Rachel kembali menegaskan sikapnya untuk tidak hidup dalam hedonisme dunia yang tengah menjadi budaya mayoritas gadis seusianya.

“Ketika aku jadi perawan tua, kusudahi untuk tampil cantik menawan. Merias wajah, mengoleksi baju ketat agar tubuh seolah elok, takkan kulakukan. Ku akan anut aliran Nudisme.”

Jiwa seniman dan kepenyairan yang dimiliki alumnus akademi seni ini semakin membuat tulisan dan sketsanya berjiwa, hidup dan humoris kendati ditulis dalam keadaan tegang suasana daerah pendudukan. Tulisan-tulisannya dikirim lewat surat elektronik (email) ke keluarganya dan beberapa di antaranya dimuat di media lokal.

Namun, tulisan-tulisan dan sketsanya baru membuat dunia tercengang ketika hampir seluruh catatan hariannya dimuat di harian Guardian Inggris, dengan tajuk “Rachel’s War.”

Catatan harian Rachel Corrie ini semakin menegaskan bahwa segala bentuk kekerasan bukan sebuah solusi dan malah akan menghancurkan peradaban dunia. Dunia tanpa kekerasan menjadi cita-citanya.

Tulisan-tulisan Rachel Corrie memberikan inspirasi bahwa usia muda bukan saatnya untuk hidup dalam hedonisme, narkoba dan menghabiskan duit untuk bersolek diri. Jati diri juga dapat diperoleh lewat kepedulian dan aksi nyata untuk menciptakan dunia yang damai dan bebas dari kemiskinan.

Rachel Corrie juga ingin menegaskan bahwa masalah Palestina bukan hanya masalah dan beban bangsa Palestina semata tetapi juga tanggung jawab dan empati dunia termasuk Amerika Serikat.




*Cerita tentang Rachel Corrie di atas (yang dicetak tebal) diambil dari rakyatmerdeka.co.id
resensi dari sebuah buku Rachel Corrie yang berjudul Let Me Stand Alone (Biarkan Aku Berdiri Sendirian)
Resensi ditulis oleh Yayat R Cipasang, Redaktur Pelaksana myRMnews.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah memberikan komentar di blog saya. Mohon maaf komentar saya moderasi untuk menyaring komentar spam ^_^

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...