Senin, 02 November 2015

Perjalanan Menuju RumahMu

Tulisan ini dimuat dalam buku Dreams2Reality yang diterbitkan oleh Leutika Prio. Kalau tidak salah ingat terbit tahun 2012

Perjalanan Menuju RumahMu
Oleh : Hairi Yanti

Apa kenangan terlama yang masih bisa kalian ingat? Kalau hal itu ditanyakan pada saya, saya masih ingat kejadian tahun 1989, saat belum genap berusia empat tahun, tepatnya saat kakek saya wafat. Masih teringat jelas kesedihan mama kemudian saya yang sebegitu senangnya bisa ketemu sepupu-sepupu dan tak peduli di tengah suasana duka saya malah asyik bermain. Oleh karena itulah, saya masih mengingat apa yang saya alami pada tanggal 29 Juni 1992, pada waktu ulang tahun saya yang ke tujuh.
           
Pada saat itulah saya bertanya pada tetangga yang masih ada hubungan keluarga, saya memanggil beliau acil (Tante dalam bahasa Banjar).  “Cil, bila ulun menabung seribu sehari, berapa tahun lagi ulun bisa naik haji?”

           
Saya lupa hitungannya, yang saya ingat saat itu acil saya itu menyebutkan usia duapuluhan lebih sebagai usia yang akan membawa saya bisa pergi haji jika menabung seribu sehari. Dan begitu mendengar bahwa jika menabung seribu sehari saya akan berangkat haji umur dua puluhan, nyali saya langsung ciut, rasanya waktu itu lama sekali sedangkan saat itu umur saya baru tujuh tahun.  Yang saya ingat saya memang sempat menabung, tapi hanya bertahan sebentar. Selanjutnya entah saya gunakan untuk apa tabungan saya itu kemudian dan sampai jumlah berapa saya tak berhasil mengingatnya lagi.

Tapi, yang saya tahu dan sadari sejak saat itu saya akhirnya punya satu mimpi. Saya ingin naik haji di saat masih muda. Kalau kata mbak Asma Nadia, pegang erat mimpimu dan jangan biarkan satu orang pun merebutnya darimu. Mimpi itu terus menggelora sepanjang kehidupan saya dan rindu akan tanah suci pun terus menyala dalam hati saya.

Kerinduan itu, mimpi itu sering juga saya sampaikan pada mama dan mama hanya meminta saya untuk tak pernah lepas dari doa. Mama selalu meyakinkan saya kalau Allah senantiasa mendengarkan doa-doa hambaNya. Saya menuruti pesan mama berdoa tanpa henti. Maka dalam setiap kesempatan, saya pun memintanya dengan redaksi doa yang saya rangkai sendiri. “Ya Allah, bukankah setiap yang pergi ke sana karena panggilan dariMu? Maka di sini, hamba mohon padaMu Rabbi, panggil hamba untuk bisa pergi ke sana.”
           
Saya juga punya kebiasaan menuliskan mimpi-mimpi saya baik di saat Ulang Tahun ataupun tahun baru, belakangan saya tau itu namanya resolusi dan yang selalu menempati baris teratas resolusi saya adalah Naik Haji.

Pada suatu ketika sekali lagi saya memberanikan diri bertanya pada mama, kapan kira-kira saya bisa pergi ke Tanah Suci? Waktu itu di daerah saya ramai sekali orang yang berangkat umrah. Saya pikir umrah pun tak mengapa yang penting bisa ke sana dulu. Menatap Baitullah, Thawaf mengelilingi Ka’bah, bersujud di Masjidil Haram juga mesjid Nabawi dan ziarah ke makam Rasulullah. Tapi mama memberi jawaban yang di luar harapan saya, beliau menegaskan tak akan memberangkatkan saya ke sana untuk umrah, tapi langsung haji saja.

Saya lemas mendengarnya. Kenapa? Bukan kah itu sebuah kabar baik? Ya memang. Tapi daftar tunggu haji di daerah saya sangatlah lama, sampai 7-8 tahun, selama itukah saya harus menunggu? Padahal setoran awal pun belum saya punya, saya pun mencoba berhitung, dengan dana yang ada berapa lama saya bisa membuka setoran awal, kemudian mendapat jatah kursi dari Depag dan menunggu sampai berangkat. Duh, lamanya. Bisa keburu tua dong saya. Dan gagallah mimpi saya naik haji waktu muda. Tapi saya mencoba bangkit dan meyakinkan diri saya untuk tidak pernah bosan berdoa.

Bayang-bayang perwujudan mimpi itu ada di tahun 2007, bermula dari kegagalan     kakak saya mendapat kursi haji tahun 2007, kemudian seorang ustadz yang mengisi pengajian yang menerangkan tafsir surah al-Hajj, saat itu beliau menyampaikan betapa wajibnya Haji bagi Umat Islam, dan kata-kata “jika mampu” sering dijadikan alasan buat mengelak dari kewajiban Haji. Waktu itu  beliau juga menyampaikan sebuah hadist : “Barangsiapa telah memiliki bekal dan kendaraan (biaya perjalanan) yang dapat menyampaikannya ke Baitullah dan ia tidak menunaikannya, maka tidak ada bedanya ia mati dalam keadaan yahudi atau nasrani.” (HR. Tirmidzi). Duh, saya merinding jadinya. Bagaimana jika saya mati sebelum berangkat haji?

Rupanya ketakutan setelah mendengar isi pengajian tadi tidak hanya dirasakan oleh saya, tapi juga orangtua saya. Selepas dari pengajian itu, rapat keluarga pun digelar dan dalam keputusan itu memasukkan nama saya untuk didaftarkan Haji bersama kakak pertama. Kakak kedua tak masalah jika saya yang duluan pergi Haji, soalnya dia  ogah sama-sama saya berangkatnya. Alhamdulillah, walaupun saya tetap merasa ini bagai mimpi.

Tapi semuanya juga ada kendala ternyata. Ternyata dana menjadi masalah juga. Walaupun waktu dihitung awalnya cukup, tapi ternyata kesulitan juga menyediakannya. Maka di saat penyetoran dan dana yang diperlukan belum mencukupi saya pun berkata pada mama kembali.

“Ma, kalau memang dananya tidak cukup, tak apa saya berangkatnya nanti saja. Biar kakak aja dulu yang berangkat tahun ini,” mendengar penuturan saya, mama hanya menatap saya sembari tersenyum dan berkata, “Kamu berdoa saja. Kalau memang ada jalannya buat berangkat Haji tahun ini, insyaAllah akan Allah mudahkan," mama memang selalu bisa meredam perasaan cemas dalam hati saya.

Sejak saat itu saya mengganti redaksi doa yang sering saya panjatkan. Saya masih tetap berharap benar-benar mendapat undangan dariNya, tapi saya memohon satu hal lagi padaNya kalau memang yang terbaik buat saya berangkat pada tahun itu, maka mudahkan segalanya. Tapi kalau memang bukan tahun ini, saya meminta dilapangkan hati untuk menerimanya. Lagipula saya berpikir gini, kalau gagal berangkat tahun ini artinya saya punya kesempatan yang lebih banyak untuk mempelajari segala sesuatu tentang Haji. Jadi tak masalah dong, tahun ini atau tahun depan sama saja. Saya pasrah aja lah, apa yang diberikanNya buat saya.

Alhamdulillah akhirnya masalah dana cukup, tapi ternyata semuanya belum selesai, berbagai berita tentang gagalnya jamaah BPIH khusus mendapatkan porsi haji membuat saya ketar-ketir juga. Masalahnya jamaah haji dari travel yang lain mendapatkan bukti kalau mendapatkan kursi Haji, semacam surat kalau nomor kursi yang ada sesuai dengan porsi haji yang disediakan pemerintah. Sementara travel yang kami ikuti tak kunjung mengirimkan surat yang dimaksud. Ketika didesak tentang kepastian, pihak travel konsisten dengan jawaban, “InsyaAllah berangkat," entah kenapa jawaban itu tak juga meyakinkan saya.

Bahkan ketidakyakinan saya dalam berangkat masih saya rasakan waktu sudah berada di bandara Soekarno Hatta, saat saya sudah bergabung dengan jamaah lain yang satu travel. Kenapa tidak yakin? Saya melihat tumpukan buku berwarna hijau yang siap dibagikan ke jamaah. Ingatan saya pun langsung ke berita yang beberapa hari yang lalu saya dengar kalau banyak travel yang ternyata memberangkatkan jamaahnya dengan paspor hijau. Wah, jangan-jangan travel ini juga pakai paspor hijau nih. Kekhawatiran itu saya sampaikan ke keluarga yang mengantar sampai ke Jakarta, beliau juga ikut khawatir tapi kemudian dengan santainya bilang ke saya. “Ya udah Ti, jalani aja. Udah sampai Jakarta juga. Nanggung balik ke Barabai,” betul juga pikir saya. Dan ternyata, buku hijau itu buku kesehatan. Dan paspor yang saya terima beberapa waktu kemudian memang benar berwarna coklat. Huff.. legaaa.

Berakhirkah segala ketidakyakinan saya? Belum. Saya yang sebelum berangkat rajin banget ngikutin berita tentang Haji dilanda kekhawatiran selanjutnya. Ingatan saya langsung melayang ke jamaah haji yang terdampar di Malaysia waktu transit. Nah, di jadwal keberangkatan kami juga ada transit di Dubai, duh, jangan-jangan terdampar di sana juga nih. Huff.. susah benar ya kalau saya suka khawatir. Tapi ya itulah kembali ke kata-kata keluarga saya. Sudah sejauh ini, jalani saja. Saya hanya bisa berdoa terus dalam hati. Mudahkan ya Allah. Ternyata travel yang saya ikuti oke juga. Terbukti waktu transit di Dubai tepat waktu banget, sesuai dengan jadwal yang saya pegang.

Gemuruh ketakutan itu menggema lagi begitu kuatnya saat saya berada tepat di depan pintu masuk masjidil Haram. Berbagai kemelut batin menyesaki alam pikir saya. Bagaimana jika saya tak diizinkan melihat Baitullah? Bagaimana jika saya malah tak menyadari kalau Baitullah kini ada di depan saya? Walaupun ketakutan sesungguhnya adalah saya begitu takut Allah tidak mengampuni dosa saya yang tak terhitung selalu menodai hari-hari saya. Gemetar saya mengucap istighfar dan manghalau segala pikiran buruk. Menyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah Maha Pengampun. Di balik ketakutan ini sungguh saya menyimpan rasa harap yang juga sedemikian besarnya bahkan lebih besar akan Dia Yang Maha Kasih dan Maha Sayang.

Saya bersama jamaah yang lain akhirnya memasuki masjidil Haram, setelah sebelumnya membaca doa masuk mesjid. Dag dig dug, jantung saya berdetak tak karuan. Saya rasakan tangan saya juga gemetar. Saya pun terus berjalan menyusuri Masjidil Haram. Karena masuk lewat pintu King Fahd, yang artinya dari pintu itu lumayan jauh sampai ke Baitullah, membuat degup jantung saya semakin kencang. Dan kemudian, sebuah benda berbentuk kubus menyentuh pandangan saya. Itu dia.. itu dia.. hati saya berseru. Gegas saya membaca sebuah doa. Ada yang membuncah dalam hati saya. Luapan rasa syukur yang tak bisa saya lukiskan dengan kata-kata ketika akhirnya saya benar-benar melihat Baitullah. Yang ternyata jauh lebih mengagumkan dan menakjubkan dari yang saya bayangkan. Pada saat itu saya sukses jatuh cinta pada pandangan pertama dan selalu rindu untuk kembali ke sana.

***

4 komentar:

  1. saya ingat kejadian th 1999, dimana ayah saya wafat, dan rumah saya kerampokan. Kejadian yg sudah lama, tapi masih membekas dlm ingatan.

    BalasHapus
  2. Merinding baca tulisan ini.. semoga bs berjumpa dg tanah suci :(

    BalasHapus

Terima kasih sudah memberikan komentar di blog saya. Mohon maaf komentar saya moderasi untuk menyaring komentar spam ^_^

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...