Jumat, 17 Juni 2016

Gamis dan Sebuah Perjalanan Berhijab

Ramai tentang gamis beberapa waktu yang lalu membuat saya juga jadi ingin bercerita tentang gamis dalam hidup saya. Setiap muslimah selalu punya cerita tentang proses berhijab mereka, dan tentu saja saya juga punya cerita tersendiri.
Gamis di Pantai
Saya selalu bilang kalau proses awal berhijab saya itu adalah sesuatu yang biasa. Tidak ada pertentangan batin, tidak ada larangan orangtua, dan lain sebagainya. Selepas menamatkan bangku sekolah dasar, saya melanjutkan sekolah ke Madrasah Tsanawiyah. Otomatis di sana lah saya mulai menggunakan jilbab, paling tidak di waktu jam sekolah. Walaupun awal yang biasa,  tapi tetap saja buat saya proses berhijab adalah sesuatu yang terus berproses sepanjang masa.


Ketika awal berhijab saya seperti layaknya ABG kebanyakan. Masih sering buka pasang jilbab, terutama di luar jam sekolah. Jilbab yang saya gunakan pun tidak bisa digolongkan menjadi penutup aurat yang sempurna, kadang malah terkesan asal menutup kepala saja. Kalau ada teman yang menunggu di luar rumah, saya masih enjoy saja menemui mereka di luar rumah tanpa jilbab.

Sewaktu seragam saya tak lagi putih biru, melainkan sudah menjadi putih abu-abu, pemahaman akan hijab sedikit demi sedikit saya dapatkan. Sejak itu, saya tak lagi mengikat ujung jilbab ke belakang dan mulai mengulurkan jilbab saya hingga menutup dada walau jilbabnya tidak terlalu lebar, asal menutup dada aja. Juga selalu tak lupa memakai jilbab ketika keluar rumah. Dan mulai belajar untuk mengenakan kaos kaki walau proses memakai kaos kaki ini panjang sekali hingga ke bangku kuliah :-)

Pengaruh fiksi islami yang booming saat saya remaja cukup berpengaruh akan proses berhijab saya. Saya selalu terkagum-kagum dengan sosok yang berjilbab lebar yang saya baca dalam cerita. Pun dengan mereka yang aktif di organisasi keislaman. Semenjak di Madrasah Aliyah saya bergabung dengan rohis sekolah. Begitu pun ketika masuk kuliah, saya menekadkan diri untuk aktif di organisasi keislaman di Kampus.

            Bergabung di organisasi keislaman di kampus membuat saya punya warna warni cerita tersendiri di luar perkuliahan secara umumnya. Organisasi saya di kampus saat itu bisa dibilang kekurangan kader, terutama pada akhwat. Maklum ya, Teknik kebanyakan cowoknya, jadi kader akhwatnya lebih minimalis dibanding kader ikhwan. Menjelang kelulusan kakak tingkat yang aktif, seorang teman pernah berkata kepada saya agar saya memakai gamis dalam keseharian saya. Alasannya agar adik-adik punya teladan kakak tingkat mereka yang pakai gamis. Saya dilanda dilema, tapi di saat itu saya hanya menggeleng dan menolak usulannya.

            “Udah ngomong sama Mama, enggak dibolehin.” Saya beralasan.

            “Kan, pakainya di Banjarbaru saja. Nanti pulang ke Barabai pakai baju yang biasa dipakai.” Si teman masih membujuk. Saya berpikir, tapi jawaban saya adalah tidak.

            Saat itu banyak hal yang masih menjadi kendala. Selain alasan yang saya lontarkan sama si teman tersebut, alasan lain adalah gamis yang saya miliki hanya dua. Sengaja saya tidak menyebut alasan tersebut, khawatir kalau saya sebut, si teman akan membelikan saya gamis baru. Hahaha…. Lagi pula saya berpikir, pakaian yang saya pakai juga masih oke saja. Rok dan blouse adalah pakaian yang biasa saya gunakan sehari-hari saat itu. Saya hanya memakai gamis jika ada acara di organisasi di luar jam kuliah.

            Selepas kuliah sebenarnya semakin ingin menggunakan gamis. Entah mengapa gamis-gamis itu semakin menarik perhatian saya. Saya paling suka melihat muslimah yang memakai gamis dan berjilbab lebar. Terlihat anggun di mata saya. Namun, mama bilang seperti ibu-ibu saja kalau memakai gamis. Berhubung saya anak yang penurut, jadilah saya tidak terlalu memaksakan kehendak saya.

            Ketika akan menikah, saya pernah bertanya pada calon suami saya saat itu (sekarang udah jadi suami), apa beliau tidak keberatan jika nanti setelah menjadi istri beliau memakai gamis? Beliau menjawab tidak keberatan. Horeee… Alhamdulillah… Akhirnya setelah menikah saya nyaris tak pernah membeli pakaian (buat dipakai di luar rumah) selain gamis. Sekarang sudah bergamis mulu, walaupun tetap sih saya masih menyimpan beberapa pakaian lain di luar gamis.

Melihat perkembangan gamis sekarang sebenarnya membuat saya bahagia. Gamis sekarang lebih diterima di masyarakat dan tidak dinilai lagi sebagai pakaian ibu-ibu. Yang muda, yang trendy juga sudah banyak memakai gamis. Bahkan saat pernikahan kakak saya, keluarga saya sepakat untuk memakai gamis sebagai seragam buat keluarga. Semoga ini perubahan yang lebih baik dengan diiringi kesadaran dari hati untuk berislam secara lebih sempurna. Saya pun masih terus berproses sepanjang usia saya.

Salah satu gamis favorit saya adalah Gamis Batik. Sewaktu menjelang hari pernikahan, saya mendapat kado kain batik dari nenek saya. Kain batik dari bahan sutra dengan corak yang sungguh saya sukai. Bahan itu langsung saya antar ke penjahit dan minta dibikinkan dua gamis dengan bahan tambahan yang saya beli di pasar.
Saya (Tengah) mengenakan gamis batik
Beberapa waktu kemudian, saya cerita ke nenek saya betapa saya menyukai gamis dengan bahan yang beliau berikan. Eh, kemudian nenek saya memberi saya lagi kain batik yang lain dan dari bahan sutra juga. Kyaaa… Alhamdulillah. Kata kakak, saya seperti penjilat yang pandai berkata-kata di depan nenek sehingga diberi hadiah mulu sama nenek. Hahaha…

Memang dari sekian cucu nenek, sepertinya hanya saya yang kerap diberi hadiah ini itu. Tapi sebenarnya bukan menjilat, kok, kan, saya cuma ingin berterimakasih dan menunjukkan kalau saya senang pada hadiah yang nenek berikan. Kalau diberi hadiah lagi, itu namanya rezeki. Hihihi… Seperti yang ada pada firmanNya. “Siapa bersyukur maka akan ditambah.”


Bagi saya, gamis batik itu seperti tidak pernah ketinggalan zaman. Dipakai kapan pun selalu oke, resmi oke, casual juga oke. Jadi, saya punya beberapa gamis batik yang menjadi koleksi saya. Lewat Zalora ada banyak sekali pilihan gamis batik yang bisa kita gunakan buat lebaran. Tertarik ber-gamis batik saat lebaran nanti? 
Gamis Batik di Zalora

11 komentar:

  1. Wah iya gamis sekarang modelnya bagus-bagus. Aku mah penggemar gamis sejak dulu kala. Dulu zaman aku kuliah orang pakai gamis terlihat aneh dan dibilang ninja. Aku bahkan pernah punya pengalaman pahit. Pas ta'aruf tuh ikhwan nolak aku karena foto pakai gamis, hadeeeh ada-ada aja hahahah untung suamiku suka aku pakai gamis. Tambah cantik katanya wkwkwkkw...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cieeeee... Tambah cantik. xixixixi....
      Iya, Mbak. Saya juga suka gamis tapi memakainya baru beberapa tahun belakangan. Sekarang sih tambah suka, apalagi modelnya kece-kece :D

      Hapus
  2. Hehe iya berhijab ada prosesnya, dulu aalnya saya jg on off. Moga bisa istiqomah berhijab sampai mati aamiin.
    Kalau gamis sasirangan ada gak ya mbak? hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ada dunk, Mbak. Saya punya nih. Hehehe... Sering juga dipakai :D
      Aamiin... Moga kita istiqomah sampai akhir ya, Mbak :-)

      Hapus
  3. Aq juga dulu suka pas booming majalah Annida, itu membantu banget buat remaja2 yg baru pd ngaji. Semangat gabung di Rohis SMA, gabung di musola fakultas :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mbak. Saya bersyukur sekali masa remaja ada pada masa2 itu. Mempengaruhi banget :-)

      Hapus
  4. Nukar gin gasan lebaran.. :D

    BalasHapus
  5. Duh.. sendainya bisa unggah foto saya mau pamer gamis batik yang sedang saya pakai sekarang ^^

    BalasHapus
  6. aku beberapa aja gamis di rumah,

    BalasHapus
  7. saya kok juga ngerasa nggak ada rintangan ya...atau ada tapi lupa. Dulu, kalau mau gamis cantik2 mesti bikin sendiri saya mbak, sekarang ya ampunnnn bisa lapar mata euy :)

    BalasHapus

Terima kasih sudah memberikan komentar di blog saya. Mohon maaf komentar saya moderasi untuk menyaring komentar spam ^_^

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...