Sabtu, 17 Desember 2016

Hari-hari Pasca Kebakaran

            Menyambung cerita di sini. Cerita pasca musibah kebakaran yang dialami keluarga saya.

            Usia saya masih 13 tahun saat itu dan yang saya pikirkan adalah bagaimana saya tidak menjadi beban keluarga karena saya tau keluarga saya tengah diuji. Makanya, saya merasa bersyukur sekali baju-baju seragam saya selamat dan baju-baju harian yang biasa saya pakai juga selamat. Dengan begitu, saya tidak perlu membuat orangtua saya mengeluarkan uang untuk membeli baju-baju yang saya pakai sehari-hari.

Memang baju-baju bagus yang biasa saya gunakan untuk jalan-jalan ludes tak bersisa, tapi belakangan saya juga mensyukuri hal itu karena niat saya untuk berjilbab menjadi tak setengah-setengah lagi. Sebelumnya, untuk jalan-jalan saya selalu melepas jilbab karena baju-baju saya kebanyakan adalah baju yang tidak cocok untuk mengenakan jilbab.


            Masalah sandang saya anggap tak begitu masalah, dan kemudian muncul masalah baru lagi pasca kebakaran. Sepeda saya hilang.

Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, setelah mendengar kalau kebakaran dekat dengan rumah, saya langsung bergegas menyelamatkan sepeda saya. Membawanya keluar rumah dan menaruhnya begitu saja di depan toko paman saya. Di mana saat itu, paman dan acil saya pun sedang sibuk mengemasi barang-barang di toko beliau.

Esok harinya sepeda itu raib. Sepeda itu memang saya kunci, namun, seberapa berat sih mengangkat sebuah sepeda? Saya pun merasa kalau keputusan saya membawa sepeda begitu saja saat diminta abah untuk berkemas adalah keputusan yang ceroboh.

Seharusnya saya tidak membiarkan barang keluar tanpa penjagaan, seharusnya saya menunggu paman saya datang yang menyemalatkan motor agar bisa juga mengamankan sepeda saya. Seharusnya saya menunggu instruksi bukan bertindak gegabah. Seharusnya-seharusnya yang membuat saya menyesal. Namun, nasi telah menjadi bubur. Sepeda itu tidak ada.

“Kalau tidak ketemu sampai hari masuk sekolah. Kita beli yang baru.” Abah berkata kepada saya.

Saya sedih sekali mendengarnya. Bagaimana pun saya tetap tidak ingin membebani orangtua saya. Membelikan sepeda baru tentu lebih mahal dari membelikan seragam baru. Seharusnya saya menjaga sesuatu yang saya anggap paling mahal yang saya punya saat itu. Sekolah saya lumayan jauh dan saya pulang pergi ke sekolah memakai sepeda. Ke mana-mana pun saya sering menggunakan sepeda.

Bersama abah, pasca kebakaran, kami mulai mencari sepeda. Sepeda saya itu bisa dibilang sepeda yang limited edition. Jadi, agak mudah menanyai orang-orang tentang sepeda tersebut. Kepada pembeli sepeda bekas, abah pun titip pesan jika menemui orang yang menjual sepeda tersebut. Lewat pembeli sepeda bekas itu juga abah menerima informasi kalau banyak sepeda yang tergeletak di halaman sebuah mesjid.

“Coba cari, siapa tahu ada sepedanya di sana,” kata si pembeli sepeda bekas. Saya dan abah pun bergegas ke mesjid tersebut, mengamati satu demi satu sepeda, dan hasilnya nihil. Sepeda saya tak diketemukan di sana.

“Kalau masih ada rezekinya, nanti ketemu aja.” Abah menghibur saya. Dan saya merasakan pesimis sekali sepeda itu bisa ketemu. Tentang sepeda yang hilang ini kemudian menyebar di kalangan tetangga. Bagaimana pun, sepeda itu telah keluar dari rumah. Tidak hangus menjadi besi terbakar. Jadi, ada setitik harap sepeda itu masih bisa ditemukan.

“Ada sepeda di rumah Pak Haji F. Sepeda seperti milik Anti.” Suatu hari mendekati hari kembali ke sekolah tiba, informasi itu kami terima. Bersama abah, saya pun menuju ke rumah Pak Haji F yang dimaksud. Letak rumahnya memang cukup jauh dari titik di mana sepeda saya letakkan sebelumnya.

“Ada banyak yang menaruh barang di depan rumah. Sebagian sudah diambil. Tapi, sepeda itu belum ada yang mengakui miliknya. Jadi, saya amankan saja di dalam rumah,” kata Pak Haji F setelah kami datang. Beliau pun kemudian masuk ke dalam rumah dan mengeluarkan sepeda berwarna hitam.

“Betul ini sepedanya?” Tanya beliau. Saya mengamati sepeda tersebut. Warnanya hitam, persis milik saya. Namun, masih ragu. Saya meneliti lagi, ada goresan di stangnya. Itu goresan yang didapat saat saya jatuh dari sepeda. Juga ada stiker di belakang sepeda. Saya bernapas lega, ini memang sepeda saya.

“Coba kuncinya,” kata abah. Gegas saya mengeluarkan kunci. Sepeda itu memang saya kunci dan kuncinya masih saya simpan. Begitu dicoba, dua anak kunci yang saya pegang langsung membuka kunci di sepeda. Alhamdulillah, sudah dipastikan itu memang sepeda saya.

“Terima kasih, Pak Haji. Terima kasih.” Saya dan abah berkali-kali mengucapkan terima kasih ke Pak Haji F yang telah mengamankan sepeda saya. Seiring napas lega karena dengan begitu saya tak akan membebani orangtua saya untuk membelikan sepeda baru buat saya sekolah.


Arti Rumah

Seperti yang saya ceritakan sebelumnya pada tulisan Amukan si Jago Merah, setelah si jago merah menghanguskan rumah saya, kami tinggal di rumah paman saya di mana paman saya itu adalah kakak dari mama saya, dan istri dari paman adalah adik dari abah saya. 4 hari tinggal di sana saya sudah merasa betah, mungkin karena ada saudara sepupu yang sepantaran dengan saya dan saya akrab dengannya. Tapi, di malam keempat, mama memberitahukan sesuatu kepada saya.

“Besok kita pindah,” kata mama. Saya terperanjat.

“Pindah ke mana?” Saya bertanya dan mama menyebutkan lokasinya yang tak jauh dari rumah saya yang terbakar.

“Saya enggak pengin pindah. Pengin tetap di sini saja.” Saya mulai terisak memberitahukan keinginan saya. Mama bilang kalau kami sekeluarga tidak mungkin lama-lama merepotkan paman dengan tinggal di rumah paman. Lagipula, usaha dagang keluarga kami harus segera dilanjutkan karena kami membutuhkan uang yang banyak. Jadi, perputaran uang harus segera dilanjutkan. Saya masih terisak, rasanya berat sekali meninggalkan sesuatu yang sudah saya merasa nyaman sebelumnya.

“Apa yang kau risaukan, Ti? Bukankah di sana, di rumah sewaan nanti, ada mama, abah, juga kakakmu. Apa yang kau risaukan?” Mama bertanya dengan nada tegas kepada saya yang membuat saya tertegun.


Yah, saya akui mama benar. Di malam itu saya menyadari, kalau arti rumah buat saya saat itu bukan lagi berpatokan pada bangunan fisik. Rumah adalah di mana tempat keluarga saya ada dan ke sana saya akan pulang. Saya pun mengusahakan riang gembira ada di hati atas rencana kepindahan kami. Hidup harus terus dilanjutkan.

Musibah adalah musibah. Pinjaman tetap pinjaman.

Itulah satu pelajaran yang saya dapat dari musibah kebakaran tersebut. Walaupun kita ditimpa musibah, namun apa yang menjadi hutang tetap harus diselesaikan. Apa yang menjadi pinjaman pun harus tetap dikembalikan. Orangtua dan kakak sulung saya mengurus beberapa hutang dan pinjaman terkait barang-barang di toko, saya pun punya urusan yang berbeda namun sama berhubungan dengan pinjaman.

Buku-buku pelajaran saya ludes terbakar dan buku-buku itu sebagian besar adalah buku pinjaman. Zaman dulu, buku tidak setiap tahun berubah. Buku yang saya pinjam, itu lungsuran keempat. Dari kakak sepupu saya, ke adiknya, ke kakak sepupu saya yang lain, dan kemudian berujung ke saya.

Ketika bertemu dengan kakak sepupu saya, saya pun mengatakan kalau buku beliau habis terbakar. Alhamdulillah, beliau mengatakan tidak apa-apa. Saya tidak perlu mengganti apa yang telah menjadi abu. Saya lega sekali mendengarnya walau masih ada beban yang menggelayuti pikiran saya.

Saat itu adalah liburan sekolah. Rupanya sedari dulu saya sudah maniak dengan buku dan gila membaca. Saat liburan sekolah, saya meminjam buku di perpustakaan kota dengan jumlah paling maksimal. Saya lupa berapa jumlahnya. Tiga, empat, atau lima. Dan semua buku itu juga tak terselamatkan.

Ketika tiba masa kembali ke sekolah, ditemani seorang teman, saya ke perpustakaan kota. Berkata dengan lirih ke ibu penjaga perpus.

“Ibu, bagaimana saya mengganti buku-buku perpustakaan yang saya pinjam? Buku-buku itu terbakar.”

“Rumah kamu ikut terbakar di kebakaran kemarin itu?” Ibu Perpus bertanya dengan suara lantang yang membuat para pengunjung perpustakaan menjadi tersedot perhatiannya kepada saya dan ibu. Juga penjaga perpustakaan lainnya.

“Iya, Bu.” Saya masih menjawabnya dengan lirih.

“Tidak usah diganti, Sayang. Tidak apa-apa,” ujar Ibu Perpus dengan lembut. Beberapa pengunjung perpus pun mendekati saya dan memandang saya dengan iba. Mendapat perhatian begitu justru membuat air mata saya berlinangan kembali ketika ibu perpus bertanya bagaimana kondisi keluarga saya sekarang dan beliau juga menanyakan apakah banyak barang yang berhasil diselamatkan.

Begitulah, apa yang menjadi pinjaman telah saya selesaikan. Alhamdulillah semuanya merelakan sehingga saya tak perlu menggantinya.

Trauma

Adakah trauma selepas kejadian tersebut? Jawabnya ya tentu ada, walau, waktu yang menyembuhkan luka.

Enam bulan pasca kebakaran tersebut, terjadi lagi kebakaran di kota kami. Jaraknya jauh dari rumah sewaan tempat saya tinggal. Tapi, mama malah meminta kami mengemasi barang-barang. Tidak semua barang sih, hanya barang yang penting yang dikumpulkan di satu tempat.

Tetangga saya lain lagi, beberapa bulan pasca kebakaran beliau tidak berani menaruh baju-baju dalam lemari. Semuanya masih dalam buntalan siap angkat dengan asumsi jika kebakaran terjadi lagi semuanya tinggal angkut.

Setiap ada ‘lonceng’ (tiang listrik yang dipukul dengan batu) berbunyi pertanda bahaya itu, jantung saya seperti berdetak lebih cepat, gemetaran, dan kaki menjadi dingin. Parasaan takut tentu saja ada dalam hati saya setiap melihat kobaran api. Namun, saya merasa itu adalah sebuah reaksi yang wajar. Siapa yang tidak ngeri dengan api yang berkobar menyeramkan di depan kita?

Semua telah lama terjadi. Waktu menyembuhkan luka dan Allah mengganti banyak hal dari apa yang telah hilang. Saya dan mama kerap berbincang tentang musibah tersebut, tentang hikmah-hikmah dan kemudahan-kemudahan yang keluarga kami dapat pasca musibah kebakaran tersebut.


Terakhir, tetap sama dengan tulisan sebelumnya, semoga kita terhindar dan dihindarkan dari bencana kebakaran dan selalu waspada terhadap hal-hal yang bisa menyebabkan kebakaran. 

24 komentar:

  1. Innalillahi .... pasti berat menjadi Mbak. Aku salut karena Mbak bisa bangkit.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waktu itu memang berat, tapi waktu menyembuhkan luka. Alhamdulillah :-)

      Hapus
  2. Tak terbayang kalau kejadian itu menimpa saya. Mungkin saya bisa frustasi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga kita dihindarkan dari musibah kebakaran ya, Mbak...

      Hapus
  3. Selalu ada hikmah di tiap kejadian. Semoga derajat Mbak seeluarga dinaikkan oleh Allah. :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin... Iya, Mbak Liza. Ada hikmah di tiap kejadian :-)

      Hapus
  4. ceritanya :') sahabatku pernah cerita kalau dia pernah mengalami musibah kebakaran, dan selalu saja takjub sama teman - teman yang masih tegar saat diberi cobaan :')

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mbak Sari. Saya juga suka sedih kalau ada yang tertimpa musibah kebakaran. Semoga selalu dikuatkan mereka yang pernah ditimpa musibah kebakaran dan kita dihindarkan dari musibah tersebut.

      Hapus
  5. Selalu ada hikmah atas setiap kejadian atau ketetapanNya , semoga mba nya sudah move on dan sudah bisa berbagi manfaat dengan memberi kisahnya di blog ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mbak. Sudah move on karena sudah lama sekali kejadiannya. Alhamdulillah, Allah mengganti yang terbakar dengan rezekinya yang banyak sekali :D

      Hapus
  6. bertubi2 banget ujiannya ya Mbak.
    Aku bacanya sampai nahan nafas, sepeda hilang, pinjaman2... ya Allah, berattt

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah berhasil melewati itu semua, Mbak :-)

      Hapus
  7. Semoga selalu diberikan rejeki & ketabahan atas semua ujian yg dialami ya mba :)

    BalasHapus
  8. Musibah adalah musibah. Pinjaman tetap pinjaman.
    Dalam sekali maknanya kak, salut pada kakak dan keluarga yang sangat tegar dan tangguh menghadapi ujian. Sukses sealu ya kak...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, Mbak. Iya. Alhamdulillah kami juga beruntung banyak barang yang bisa diselamatkan jadi perputaran modal bisa segera berputar :D

      Hapus
  9. Ada hikmah dibalik setiap musibah. Huhu pengalaman yg mungkin gak terlupakan seumur hidup ya mba. Ikutan terharu bacanya :"

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mbak. Ga terlupakan dan semoga tidak terjadi lagi kepada siapa pun :-)

      Hapus
  10. Musibah kadang memang meninggalkan trauma. Sama dengan adik saya yang masih takut berada di ketinggian setelah ada gempa dahsyat di Sumatera Barat dulu. Dan hidup juga memang mesti berbenah ya, mba. Setelah kehilangan banyak hal plus ada hutang, orang-tua segera bangkit untuk hidup ke depannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mbak. Saya juga ada trauma tersendiri dengan naik pesawat. Moga nanti bisa saya ceritakan di sini. Tapi mau ga mau, saya naik pesawat juga :D

      Hapus
  11. Salam kenal mba Yanti. Baru saja topik ini juga menjadi bahasan di grup bersama sahabat2 saya, ada kakaknya yang mengalami musibah kebakaran. Semua hanya bisa diambil hikmahnya dan bersyukur orang rumah masih selamat.
    Terima kasih sudah berbagi. Jadi pelajaran untuk saya juga.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal juga, Mbak Susan. Semoga kakak sahabatnya bisa tabah menghadapi musibah ya. Semuanya pasti tidak ingin mendapat musibah kebakaran tapi ada takdirNya yang tidak bisa kita hindari.

      Hapus
  12. Sedih bacanya saya ikut merasakannya meski lewat tulisan ini. Semuanya tlh berlalu y mba hikmahnya pasti bnyk dri smeua kejadiannya, dan perihal pinjaman ada pula yang malah memanfaatkan kejadian yang menimpanya mba :)
    Peluk mba kenceng

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mbak. Banyaaak banget hikmahnya dan jadi pengalaman hidup yang berharga. Peluk mbak Herva juga :D

      Hapus

Terima kasih sudah memberikan komentar di blog saya. Mohon maaf komentar saya moderasi untuk menyaring komentar spam ^_^

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...