Kamis, 31 Agustus 2017

Kejuaraan Dunia Bulutangkis 2017

Glasgow

        Tadinya saya pikir Glasgow itu letaknya di Australia. Semenjak mendengar kalau kejuaraan Dunia Bulutangkis di tahun 2017 diadakan di Glasgow, pikiran saya sudah menetapkan kalau Glasgow itu ya di Australia. Sepertinya kecampur-campur sama pikiran penyelenggaraan Sudirman Cup. Karena itulah, sewaktu membaca novel yang latarnya di London, dan ceritanya si tokoh di novel itu buka cabang usaha di Glasgow, saya ngebatin “Ya Ampun, jauh amat sih buka cabang di Australia.”

            Begitu juga saat sebelum pergelaran Kejuaraan Dunia, ada turnamen di Selandia Baru, saya pun bilang ke grup pecinta bulutangkis “Ntar pemain yang ikut NZL Open itu balik ke negaranya dulu tidak sih sebelum ikut kejuaraan dunia? Capek juga ya bolak-balik. New Zealand – negaranya – Glasgow.” ujar saya dengan pedenya.


            Nah, dari situlah saya kemudian diberitahu kalau Glasgow itu letaknya di Skotlandia… Eropa, Cyin. Bukan Australia. Salah satu hal yang saya dapat dari mengikuti turnamen bulutangkis adalah saya jadi tambah pengetahuan tentang kota-kota di dunia. Termasuk ini : Glasgow.

Kejuaraan Dunia Bulutangkis

            Kejuaraan Dunia Bulutangkis atau World Badminton Championship digelar setiap tahun, kecuali tahun Olimpiade. Jadi, di tahun 2016 kemarin, tidak ada pergelaran Kejuaraan Dunia. Sementara di tahun 2015 diadakan di Jakarta.

            Turnamen ini termasuk turnamen penting dan bergengsi buat para atlet dan tentu saja juga ditunggu-tunggu oleh para Badminton Lovers. Kalau menang di sini, gengsinya tinggi. Wakaka… Saya pun termasuk yang menunggu-nunggu.
Juara Dunia 2015, Hendra dan Ahsan
Foto dari web PBSI

            Tidak seperti turnamen lainnya, untuk berlaga di Kejuaraan Dunia, tidak semua atlet yang bisa. Ada syarat tertentu yang akan membuat atlet diundang ke Kejuaraan Dunia. Indonesia sendiri mengirimkan beberapa atletnya. Karena waktu penyelenggaraannya bersamaan dengan Sea Games 2017 di Kuala Lumpur, maka tidak semua atlet yang diundang dikirim ke Kejuaraan Dunia. Semisal untuk nomor tunggal putra, atlet yang berada di Pelatnas hanya diwakili oleh Anthony Sinisuka Ginting. Sementara yang di luar Pelatnas ada Sony Dwi Kuncoro dan Tommy Sogiarto. Dan ketiganya tidak bisa berbicara banyak di turnamen tersebut karena kalah di babak awal.

            Walau begitu, Indonesia masih menyisakan beberapa wakil di nomor ganda, seperti Kevin /Gideon, Angga / Ricky, Praveen / Debby, Ahsan / Rian, dan Tontowi / Liliyana.

Kejutan

            Konon katanya turnamen seperti Olimpiade atau Kejuaraan Dunia akan ada kejutan-kejutan yang bisa kita dapatkan. Kejutan pertama di ajang Kejuaraan Dunia tahun ini datang dari andalan negeri jiran, Lee Chong Wei.

Raja tanpa mahkota, para BL menyebut demikian untuk Datok Lee Chong Wei. Seorang atlet bulutangkis dari negeri jiran yang mengoleksi banyak sekali gelar superseries. Tapi, sayangnya ia gagal berkali-kali di turnamen seperti Asean Games, Kejuaraan Dunia, dan juga Olimpiade. Padahal ia bisa menjejak final Olimpiade sebanyak 3 kali dan ketiganya berujung perak, bukan emas.

Datok pun datang ke Skotlandia untuk kembali merengkuh impiannya menjadi juara dunia. Tapi justru gagal di babak awal.  Kali ini yang mengandaskan adalah atlet Perancis berusia 31 tahun yang bahkan tak pernah menjadi juara superseries. Atlet itu bernama Brice Leverdez.

Kegagalan Datok seolah mengajarkan tentang kehidupan. Ada hal-hal yang bisa kau raih tapi juga ada yang tidak. Mungkin dengan "ketidaksempurnaan" raihan itu membuat kita masih menjejak di bumi dan tidak merasa di atas dari yang lain. Taufik Hidayat tidak pernah mendapat titel juara All England, Hendra Setiawan belum pernah jadi juara PON (Hahaha....) dan seorang Liliyana Natsir harus berjuang tahun depan untuk mendapatkan emas Asean Games yang belum pernah ia raih. Kalau untuk Butet, gapapa deh sempurna raihan gelarnya.

Kejutan lainnya datang dari ganda putra negeri kita, Muhammad Ahsan dan Rian Agung Saputro. Dengan mengejutkan mereka berhasil mengalahkan ganda rangking satu dunia saat ini, Liu Yuchen dan Li Junhui. Walau begitu, tak selalu kemenangan menyertai atlet negeri ini. Sampai di semifinal dan final hanya ada dua yang bertahan, yaitu pasangan Muhammad Ahsan dan Rian Agung Saputro juga Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir.
Ahsan Rian saat menang di semifinal

Final Tunggal Putri Yang Bersejarah

‘This is intense, every point is a fight. Amazing finals match #2017BWC’ --- Kutipan ini saya ambil dari twitter 2017WBC.

Pertandingan paling menarik di final kejuaraan dunia kemarin tanpa diduga justru ada di nomor tunggal puteri yang mempertemukan Jepang dan India. Si mungil imut (untuk ukuran atlet), Nozomi Okuhara melawan andalan India Pusarla V Shindu. Nozomi bertinggi 156 cm, dan 179 cm adalah tinggi badan Shindu. Tapi, bukan Nozomi namanya kalau gentar menghadapi orang yang lebih tinggi darinya.

Every point is a fight. Kalimat itu benar-benar terjadi. Betapa kedua gadis itu bertahan dan berjuang mendapatkan poin demi poin. Bahkan hanya untuk dapat satu poin, mereka jatuh bangun sampai memerlukan 73 pukulan. Yang nonton aja capek, apalagi yang main.

Total waktu pertandingan mereka berdua 110 menit. Ckckck... itu lebih lama dari pertandingan bola. Kalau bola yang main 22 orang, sedangkan pada pertandingan tersebut yang main 2 orang, cewek pulak.

Skor ketat terjadi sepanjang pertandingan, kalau yang satu minta challenge, yang satu lagi lega. Itu artinya kesempatan buat ngambil napas. Sewaktu jeda, pelatih Jepang menghampiri dengan membawa beberapa botol minuman. Stok minuman habis, Cyin... jualan Aqua bisa laris diborong Nozomi sama Shindu.

Saat skor 15-15, kalau diberi wewenang saya ingin menghentikan pertandingan dan kasih emas buat keduanya. Malaysia aja bisa dapat 2 emas, ayolah kasih 2 emas juga ke mereka (beda kasus, Red). Selain itu saya juga khawatir anak gadis orang pingsan di lapangan. Mereka minta jeda, tidak selalu dikasih izin sama umpire. "On Court.. On court..." gitu terus umpire ngomong. Mungkin umpire juga lelah duduk. Hehehe….
Nozomi dan pelatihnya. Gambar capture dari IG Nozomi

Dan akhirnya pertandingan dimenangkan oleh... si kecil imut (untuk ukuran atlet) dari Jepang, Nozomi Okuhara. Walau begitu, kedua pemain layak diacungi jempol. Mereka benar-benar mengajarkan arti perjuangan dalam meraih kemenangan.

Final Ganda Putra

Siapapun, bahkan mungkin mereka sendiri tak menyangka akan melaju sejauh ini. Performa Muhammad Ahsan pasca 'cerai' sama Hendra Setiawan bisa dibilang tidak terlalu menggembirakan. Kalau tak salah ingat mereka pernah sampai di satu semifinal superseries. Setelahnya sempat juara di turnamen kecil dan kemudian pulang di babak awal turnamen besar lainnya.

Para BL (Badminton Lovers) pun nelangsa menyaksikan babah kesayangan mereka begitu dan memohon-mohon ke coach naga api (gelaran buat Herry IP, pelatih ganda putra) agar mencarikan Babah Ahsan pasangan baru.

Gelaran Kejuaraan Dunia bulutangkis 2017 bersamaan dengan digelarnya Sea Games di Kuala Lumpur. Selain Kevin Sanjaya/Marcus Fernaldi Gideon dan pasangan Angga Pratama / Ricky Karanda Suwardi, sebenarnya ada jatah buat Fajar Alfian dan Rian Ardianto buat ke kejuaraan dunia. Sesuai dugaan saya, Fajar dan Rian difokuskan ke Sea Games dan Ahsan Rian yang menuju kejuaraan dunia.

Ketika drawing keluar, rasa pesimis hinggap di hati. Bagaimana tidak di babak awal mereka sudah ketemu sama unggulan pertama, ranking satu dunia, Liu Yuchen dan Li Junhui. Tanpa diduga mereka ternyata menaaang seperti yang saya sebutkan di atas. Rian yang kerap error dalam pertandingan itu terlihat lebih baik. Ahsan pun depan, belakang, kiri, kanan bagus semua dalam pertandingan. Ahsan benar-benar menunjukkan bahwa dia pemain kelas dunia.

Satu per satu lawan dilewati Ahsan dan Rian. Semua lawan punya tantangan sendiri dan di pertandingan-pertandingan itu mereka tampil memukau. Menuai pujian oleh banyak pihak bahwa walaupun Kevin Gideon yang digadang-gadang bisa melaju sampai final sudah kalah, tapi Indonesia tetap punya monster di ganda putra.

Tapi saat final, seperti anti klimaks dari pertandingan-pertandingan sebelumnya. Entah karena faktor apa mainnya benar-benar tidak lepas. Ahsan kelihatan tidak bisa keluar tekanan, pun dengan pertahanan Rian Agung yang gampang sekali ditembus. Dapat ditebak, gelar juara dunia pun tidak bisa diraih.

Sedihnyaaa… banyak suara sumbang yang terdengar akan penampilan buruk mereka di final. Pertandingan ganda putra yang biasanya paling seru justru kalah jauh dari pertandingan tunggal putrid dan ganda putri. Penampilan pemain Indonesia benar-benar di luar perkiraan. Sebut saja ‘jelek mainnya’ dan saya sedih sekali akan hal itu.

Bagaimanapun, Ahsan dan Rian berhasil menjejak final dan melewati lawan-lawan yang tidak mudah untuk menuju final.

‘Being a good person is like being a goalkeeper. No matter how many goals you save, some people will only remember the one you missed’

            Kutipan tersebut saya dapatkan di instagram kala orang-orang negeri jiran menghibur Haziq Nadzli, sang kiper Malaysia di mana penyelamatan yang ia lakukan di mulut gawang justru menjadi gol kemenangan buat Thailand. Saya rasa kutipan itu juga pas untuk Ahsan dan Rian. Ada segelintir orang yang hanya memandang penampilan jelek tak memuaskan mereka di final, tapi melupakan bagaimana memukaunya penampilan mereka untuk melangkah menuju final.
Ahsan dan Rian
Foto dari @INABadminton 

Bagaimanapun, pencapaian Ahsan dan Rian di turnamen ini layak diacungi jempol. Mereka menjadi satu-satunya pemain non unggulan yang berhasil menjejak final. Ini juga pencapaian terbaik Ahsan setelah berpisah dengan Hendra Setiawan. Final ketiga Ahsan di Kejuaraan Dunia walau berujung runner up dan final pertama Rian Agung Saputro bahkan medali pertama Rian Agung di pergelaran ini. Semoga ke depan lebih baik untuk mereka berdua.

Emas untuk Indonesia

Saat pertandingan ganda campuran yang mempertemukan pasangan Indonesia Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir dengan pasangan nomor satu dunia Chen Qingchen dan Zheng Siwei, saya sudah tidak bersemangat buat menonton. Bukan apa-apa, tapi masih baper dengan kekalahan Ahsan Rian. Wkwkwkk... apalagi di set pertama mereka kalah dan tidak menunjukkan performa terbaiknya. Ya sudahlah pikir saya... mungkin memang Indonesia Raya tidak akan berkumandang di Glasgow.

Eh, ternyata mereka malah menang pada game kedua. Mungkin harusnya saya tidak menonton pertandingan agar wakil Indonesia juara. Hahaha…  Dalam pertandingan ini, di game ketiga,  yang mencengangkan semua orang mereka memberikan poin 11-1 buat pasangan nomor satu dunia dari Tiongkok itu. Satu per satu poin diraih sampai akhirnya sampai di angka 21.

Yay... Akhirnya Indonesia dapat jatah juara dunia juga di Glasgow yang lagi-lagi diberikan oleh pasangan yang sudah sangat senior. Liliyana Natsir a.k.a Butet pertama kali meraih gelar juara dunianya pada tahun 2005. Saat itu ia berusia 20 tahun. Dan yang di Glasgow kemarin adalah gelar keempat untuk Liliyana. Butet menjadi juara dunia pada 2005 dan 2007 bersama Nova Widianto dan 2013 serta 2017 bersama Tontowi Ahmad.
Sang Juara kita

Di satu sisi, tentu saja senang Indonesia berhasil meraih juara dunia, tapi di sisi lain sedih juga… ke mana para penerus Liliyana Natsir? Padahal lawan mereka di final adalah generasi baru Tiongkok yang masih berusia 20 tahun. Sementara kita masih saja mengandalkan Butet lagi dan lagi.

*kumpulan catatan yang sebagian ada di status fesbuk, dan kemudian saya satukan di sini ^_^*

            

11 komentar:

  1. duo ganda campuran ini emang selalu bikin deg-degan deh kalau main. Saya aja gak nyangka mereka bisa menang setelah di babak pertama di hajar habis-habisan sama pasangan china. Tapi semenjak babak kedua, boleh saya bilang permainan duo pasangan indonesia makin menggila. Malah seperti menekan permainan china. Pokoknya keren banget deh comeback mereka

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya banget. Saya udah ga semangat nonton. Masih baper dengan kekalahan Ahsan Rian dan lihat mereka di babak pertama kalah. Dan ternyata menang :D

      Hapus
  2. Mbak Hairiyanti ini atlet bulutangkis ya? Keren!
    Saya dulu waktu masih mudah juga hobi main. Mainnya tengah malam biar gratis. Harus bobol jendela dulu buat masuk. Ahaha #masalalukelam

    Gile juga ya ada yang main sampe 110 menit. Itu parunya segede apa.

    Liliana ini memang jadi tumpuan buat Indonesia sekarang. Moga ada yang jadi penerusnya. Kita punya banyak talenta muda yang berbakat. Tinggal dipoles sama diarahin aja sebenernya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukaaaan. Saya hobinya cuma nonton dan bukan atlet. Hehehe... iyaa. Liliyana selalu jadi tumpuan dan pelapisnya belum ada yang seperti dia :(

      Hapus
  3. penggemar bulu tangkis ya, Mbak. Waktu jaman masih kecil, tahun 1992 an, aku suka banget ngikutin sampai baca di koran bareng bapak dan kakakku mbak, sekarang kurang , entah karena kesibukan ngurus anak dan rumah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak. Fans bulutangkis. Hihihi... tapi baru setahun terakhir ini saya mengikuti turnamen demi turnamennya :-)

      Hapus
  4. hehehehehe.... baru kali ini aku mampir ke blog penggemar bulutangkis sejati. paham banget. Eh... tapi buat variasi sih. aku pernah mampir ke blognya penggemar bola dan isinya bola. sekarang ada yang penggemar bulutangkis.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi... iya ya mbak Ade? Kepengin sih nulis tentang bulutangkis rutin gitu tapi suka malasss :-)

      Hapus
  5. Dulu musuh datok Lee chong wei taufik, lindan sama peter. Habis itu muncul chen long. Sekarang harus tergopoh2 ngadepin victor axelsen. Sampe sekarang masih penasaran kenapa susah banget dapetin olimpiade ;D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dan tahun ini Datok absen karena ada masalah kesehatan ya mbak.

      Hapus
  6. Duh itu di atas ada typo fatal mbk. Asian games malah tertulis Asean games. ��

    BalasHapus

Terima kasih sudah memberikan komentar di blog saya. Mohon maaf komentar saya moderasi untuk menyaring komentar spam ^_^

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...